Kedudukan Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Resmi Negara Dikukuhkan Dalam
Fungsi Bahasa Indonesia
Dirangkum dari situs Kantor Bahasa Banten Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan buku Bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah dasar Umum oleh Verawati Fajrin dan Aditya Pratama, Kamis (30/12/2021), berikut fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara:
1. Bahasa resmi kenegaraan. Artinya, seluruh kegiatan kenegaraan dan penyelenggaraannya harus menggunakan bahasa Indonesia.
2. Bahasa pengantar pendidikan. Di Indonesia, kegiatan belajar mengajar di sekolah dan lingkungan perguruan tinggi menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantarnya.
3. Bahasa komunikasi tingkat nasional. Dalam hal ini, bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat perhubungan dalam kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah yang lainnya.
4. Bahasa media massa. Penyampaian berita lewat media massa juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa baku.
5. Bahasa pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain itu, bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai bahasa resmi pembangunan kebudayaan. Dalam hal ini, bahasa Indonesia berperan sebagai media pengembangan dan pelestarian budaya nasional.
Bahasa Indonesia adalah identitas nasional yang dimiliki bangsa Indonesia. Bayangkan saja dari banyaknya bahasa daerah di Indonesia, bahasa Indonesialah yang disetujui dan ditetapkan sebagai bahasa persatuan. Jika dilihat dari asal usulnya dan dibandingkan dengan bahasa dari negara lain, bahasa Indonesia lebih mudah dipelajari yang mana dalam bahasa Indonesia tidak ada kala (tenses), tingkatan, atau tata bahasa gender yang sering ditemukan dalam bahasa Inggris atau Prancis. Karena “kemudahannya” ini bahasa Indonesia menarik perhatian para penutur asing.
Eksistensi bahasa Indonesia di kancah internasional dapat dilihat dari beberapa negara seperti Australia, Jepang, Korea Selatan, Hawai, dan Kanada yang memasukkan bahasa Indonesia sebagai pelajaran penting di Negara mereka. Bahkan pada tahun 2007, bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua di Kota Ho Chi Minh, Vietnam.
Sampai sekarang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) juga gencar mengirimkan pengajar lokal BIPA ke berbagai negara. Selain itu, para penutur asing belajar bahasa Indonesia disebabkan karena adanya keinginan untuk mengetahui budaya Indonesia,keinginan dapat berbicara dengan orang Indonesia tanpa terkendala bahasa, dan keinginan untuk membangun dan mempererat hubungan persahabatan antar bangsa.
Dengan bertambahnya jumlah penutur asing yang belajar bahasa Indonesia dan Badan Bahasa yang terus mengupayakan kemajuan bahasa Indonesia baik di dalam maupun luar negeri mampu memberikan kesempatan kepada bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.
Namun, tantangan dalam menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional masih ada. Dilihat dari kehidupan penutur asli (orang Indonesia) yang sudah mengikuti arus modern mengakibatkan rakyat Indonesia lebih memilih belajar bahasa asing yang lebih keren. Rendahnya pengakuan dari penutur asli dan masih adanya sikap pesimistik terhadap bahasa Indonesia menjadi hambatan internal tersendiri dalam menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa internasional.
Hal ini disebabkan tidak adanya dukungan dari rakyat itu sendiri. Bahkan, generasi muda bangsa sekarang sudah diajarkan untuk mengutamakan bahasa asing ketimbang mempelajari bahasa Indonesia. Kalau hal tersebut dibiarkan terus-menerus bahasa Indonesia bisa digantikan bahasa lain karena kehilangan penutur aslinya dan mimpi untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional tidak akan pernah terealisasi.
Untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan kesadaran penuh dan kerja keras antara pemerintah, Badan Bahasa, dan seluruh masyarakat untuk menyuarakan dengan lantang perihal pentingnya bahasa Indonesia untuk kemajuan hidup bangsa. Hal tersebut bisa dimulai dengan kembali mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dan dalam segala bidang, sehingga bahasa Indonesia tidak hanya melekat di hati para penutur asing namun juga di hati penutur aslinya. Gunanya untuk menyadarkan kembali penutur asli bahwa bahasa Indonesia adalah identitas nasional.
Pada akhirnya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, diperlukan perbaikan dan pembinaan terlebih dahulu mengenai bahasa Indonesia di mata penutur asli (rakyat Indonesia). Setelah itu diperlukan juga kesadaran dan dukungan penuh seluruh rakyat Indonesia yang bahu-membahu memajukan dan menyebarkan bahasa Indonesia sehingga suatu saat perkataan mengenai “bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional” dapat terwujud.
Di tangan masyarakatlah perkataan tersebut dapat terlaksana. Dari melihat peluang besar yang ada mengenai bahasa Indonesia, kiranya bangsa Indonesia mampu memanfaatkannya dengan sebaik mungkin untuk mengepakkan sayapnya di mata dunia.
Penulis: Indi Kusuma Hati | Gambar: Freepik
Jakarta (ANTARA) - Setelah melalui rangkaian panjang usaha dan diskusi, sidang pleno UNESCO pada 20 November 2023 memutuskan untuk menerima usulan Pemerintah Indonesia menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi sidang umum salah satu badan di bawah naungan Perserikatan Banga-Bangsa (PBB) itu.
Dengan demikian, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi ke-10 pada Sidang Umum badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan tersebut, melengkapi sembilan bahasa PBB lainnya, yaitu Bahasa Inggris, Prancis, Arab, China, Rusia, Spanyol, Hindi, Italia, dan Portugis.
Dubes dan Wakil Tetap RI untuk UNESCO Ismunandar, dalam suatu kesempatan mengatakan pengakuan ini sekaligus menunjukkan peran penting Bahasa Indonesia dalam mendorong perdamaian dan solidaritas dunia.
Hal ini sekaligus menyiratkan keyakinan UNESCO terhadap pentingnya bahasa karena perdamaian dunia mustahil dibangun hanya dengan ekonomi dan politik semata.
Salah satu peran penting Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Sidang Umum UNESCO adalah semua keputusan sidang UNESCO harus diterjemahkan ke dalam bahasa resmi, termasuk Bahasa Indonesia.
Pengakuan ini juga ditunjukkan dengan penerjemahan dokumen UNESCO 2023 ke Bahasa Indonesia sebanyak 250 buku dan 29 permainan matematika ke dalam Bahasa Indonesia, yang dilanjutkan ke dalam 27 bahasa daerah untuk mendukung literasi dan pelestarian Bahasa Indonesia di daerah terpencil, demikian Ismunandar.
Prestasi ini menunjukkan peran dan fungsi Bahasa Indonesia yang sudah teruji dalam perjalanan sejarahnya sejak Sumpah Pemuda 1928, sebagai bahasa nasional yang telah memainkan perannya dalam berbagai kepentingan bangsa. Keberhasilan Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu ribuan etnis di Indonesia merupakan modal utama dan menjadi kunci perdamaian dunia melalui bahasa.
Kekuatan lainnya yang menjadi kebanggaan bangsa ini adalah penutur Bahasa Indonesia adalah semua orang di seluruh wilayah Indonesia, yakni sekitar 270 juta.
Dalam tataran akademis, Bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib sejak kelas satu SD sampai perguruan tinggi. Untuk satu mata pelajaran ini tidak boleh ada angka merah atau tidak lulus. Beberapa dosen yang mengampu Bahasa Indonesia di kampus-kampus mengungkapkan betapa lelahnya mereka dalam penyampaian materi Bahasa Indonesia.
Meski mahasiswa sudah belajar Bahasa Indonesia sejak kelas 1 SD, namun pemahaman dan kesadaran berbahasa masih belum memuaskan. Salah satu faktor penghambat adalah sikap menggampangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Selain itu, peran media massa dengan narasumber yang kurang menghargai Bahasa Indonesia juga ikut mempengaruhi sikap mahasiswa.
Menurut Ismunandar, dengan posisi Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, maka perlu langkah nyata yang dapat dilakukan, yakni bagaimana meningkatkan minat warga dunia terhadap Bahasa Indonesia, apalagi di tengah maraknya konflik antarnegara.
Belum lama ini, KBRI Canberra di Australia meluncurkan program "Kawan Ngobrol" untuk mempromosikan Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Ada 16 sekolah dan dua perguruan tinggi di Canberra yang menawarkan kursus Bahasa Indonesia.
Selain itu, perlu upaya pengayaan kosakata Bahasa Indonesia secara terus menerus serta membangun kesenangan dan kesadaran berbahasa bagi masyarakat luas. Upaya pengayaan itu bisa dilakukan lewat jalur ilmiah dan bahasa daerah.
Berbagai peristiwa komunikasi dalam masyarakat, seperti debat presiden menjelang Pemilu 2024, juga telah melahirkan kosakata yang cukup menyegarkan. Ada joget gemoy, gimik, omon-omon, terkelok-kelok, mea-mea, biu-biu, hilirisasi digital, dan lainnya.
Data Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jumlah kosakata mencapai 120 ribu pada tahun 2023 dan diharapkan mencapai 200 ribu di tahun 2024.
Ribuan kosakata ini diharapkan dapat menjadi sarana komunikasi kebersamaan antarwarga, seiring dengan alasan UNESCO menjadikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi UNESCO, yakni sebagai pendorong perdamaian dunia.
Dalam konteks ini, maka peran dan fungsi Bahasa Indonesia agaknya tidak cukup hanya memperkaya kosakata, karena banyak sekali peristiwa komunikasi yang cukup meresahkan masyarakat karena faktor bahasa.
Tawuran antarwarga di beberapa kawasan di Jakarta dan daerah-daerah lainnya sampai sekarang masih sering terjadi. Berita kekerasan terhadap anak dan perempuan, ayah memperkosa anak kandung, ibu membunuh bayi, juga belum berhenti. Manakah bahasa media yang dapat mengubah perilaku sadis masyarakat? Sebuah penelitian mengungkapkan bahasa media justru memperparah kesadisan dalam masyarakat.
Ini artinya, bahasa tidak cukup hanya memperkaya kosakata, tapi juga perlu pengayaan makna di balik kosakata, karena setiap kata atau kalimat adalah tindak tutur dan berpengaruh pada perilaku pembaca.
Dari sisi pragmatik, setiap kata atau kalimat mengandung tiga tindak tutur sekaligus, yakni lokusi, ilokusi dan perlokusi. Artinya, setiap tuturan kata atau kalimat yang disampaikan pastilah memiliki pesan dan tujuan tertentu serta efek yang diharapkan. Di sinilah sering terjadi kesalahpahaman antara pembicara dan pendengar, yang dapat memicu tindak kekerasan.
Pengayaan kosakata dan makna di balik kata atau kalimat tuturan, langsung atau lewat media, seperti "kawan ngobrol" yang dilakukan kampus di Canberra perlu didukung tindakan nyata semua pihak, agar Bahasa Indonesia yang sudah diakui UNESCO sebagai bahasa resmi internasional dapat menjadi kebanggaan bagi Bangsa Indonesia.
*) Dr Artini adalah pimpinan Lembaga Pendidikan Jurnalistik ANTARA 2003-2006
Copyright © ANTARA 2024
Hak warga negara telah diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 UUD Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia dikenal sebagai negara yang penuh keragaman karena memiliki kebudayaan yang beragam. Keragaman ini sejatinya perlu dikelola secara tepat agar tercipta rasa keadilan dan kedamaian.
Cara agar merawat keragaman ini salah satunya perlu ditetapkan aturan persamaan kedudukan warga negara. Hal ini agar tidak terjadi kesewenang-wenangan antara warga negara dengan penyelenggara negara dan warga negara dengan warga negara lainnya.
Hak warga negara telah diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 UUD Republik Indonesia Tahun 1945.
Pertama, Pasal 27 mengatur hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak mendapatkan perlindungan hukum serta hak persamaan kedudukan di mata hukum dan pemerintah. (Baca: Hukum Administrasi Negara dan Perkara yang Sering Terjadi di Dalamnya)
Kedua, Pasal 28 hak asasi manusia. Ketiga, Pasal 29 mengatur hak warga negara tentang kemerdekaan memeluk agama. Keempat, Pasal 30 mengatur hak warga negara tentang keikutsertaan dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Kelima, Pasal 31 mengatur hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Keenam, Pasal 32 mengatur hak warga negara untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Ketujuh, Pasal 33 mengatur hak warga negara untuk memperoleh kesejahteraan sosial atau ekonomi. Delapan, Pasal 34 mengatur hak warga negara untuk memperoleh jaminan keadilan sosial.
indonesibaik.id - Potensi luar biasa menjadikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional itu terus dikembangkan dan ditingkatkan melalui kerja sama, koordinasi, dan sinergitas Perwakilan RI di negara akreditasi.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang berasal dari bahasa Melayu. Bahasa ini resmi ditetapkan sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945.
Asal muasal bahasa Indonesia dapat diketahui berdasarkan prasasti yang ditemukan di beberapa wilayah Nusantara. Tiga di antaranya adalah prasasti yang ditemukan di Kedukan Bukit Palembang yang berangka tahun 683 M, prasasti Talang Tuwo di Palembang yang berangka 684 M, dan prasasti Kota Kapur di Bangka Barat yang berangka tahun 686 M.
Selain itu, informasi dari seorang ahli sejarah China, I-Tsing, juga semakin memperkuat bahwa bahasa Melayu merupakan induk dari bahasa Indonesia. Dia menemukan bahwa bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa perhubungan di Kepulauan Nusantara. I-Tsing menyebutnya sebagai Koen-luen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fakta Menarik Bahasa Indonesia
Melansir Kementerian Luar Negeri, mengatakan bahwa Wikipedia Berbahasa Indonesia kini berada di peringkat 25 dari 250 Wikipedia berbahasa asing di dunia. Sedangkan di tingkat Asia, Bahasa Indonesia berada di peringkat tiga, setelah Jepang dan Mandarin. Sebuah pencapaian besar bukan?
Tak hanya itu, Bahasa Indonesia bahkan telah ditetapkan sebagai bahasa resmi ke-2 di Vietnam dan menjadi bahasa terpopuler ke-4 di Australia.
Menurut Kemenlu RI (Diplomasi, No.106 tahun X), ada setidaknya 52 negara asing membuka Program Studi Bahasa Indonesia, beberapa di antaranya; Inggris, Amerika Serikat, Australia, Maroko, Vietnam, Kanada, Jepang, Ukraina, Korea Selatan, Hawaii hingga Suriname.
Program BIPA Semakin Meningkat
Antusiasme warga dunia untuk mempelajari Bahasa Indonesia semakin terlihat dari Program Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA). Sampai akhir tahun 2020 tercatat ada 355 lembaga penyelenggara program BIPA di 41 negara, dengan total 72.746 pembelajar. Dari jumlah tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud telah memfasilitasi 146 lembaga di 29 negara.
Angka besar yang menjadi bukti nyata bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Luar Negeri berkomitmen untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional dan sebagai instrumen soft power diplomacy.
Oleh: Kezia Oktavioni Asmaradita | PPTI 11 | 2502040322
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki identitas nasional. Identitas nasional terdiri dari dua kata yaitu identitas yang merupakan ciri, watak, maupun karakter yang ada pada seseorang atau sekelompok orang dan dapat membedakan orang atau kelompok tersebut dengan kelompok lain. Dan kata nasional yang merujuk pada identitas yang melekat pada kelompok yang lebih besar dan dipersatukan oleh kesamaan seperti budaya, agama, bahasa, serta cita-cita dan tujuan yang sama. Jadi identitas nasional dapat diartikan sebagai ciri maupun jati diri yang melekat pada suatu bangsa dan membedakan bangsa tersebut dengan bangsa-bangsa yang lain. Sebagai sebuah bangsa yang berdaulat, Indonesia pastinya memiliki identitas nasional yang membedakan Indonesia dengan negara-negara lain.
Ada semboyan yang mengatakan “bahasa menunjukkan bangsa”. Semboyan tersebut menunjukkan bahwa Bahasa dapat menjadi salah satu simbol jati diri suatu bangsa. Bahasa Indonesia merupakan identitas nasional bangsa Indonesia karena dapat membedakan negara Indonesia dengan negara lain. Indonesia meruapakn salah satu negara yang memiliki banyak keberagaman. Keberagaman bahasa merupakan dampak dari beragamnya suku, ras, etnis, golongan dapat dipersatukan dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sudah dinyatakan sebagai identitas nasional melalui Kongres Pemuda yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1928. Melalui Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia disepakati sebagai Bahasa persatuan dan dijunjung tinggi oleh seluruh warga Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan oleh semua orang Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi satu-satunya bahasa resmi yang digunakan oleh pemerintah Indonesia. Dengan menggunakan bahasa Indonesia maka semua orang dapat saling berkomunikasi dengan mudah. Bahasa Indonesia juga menjadi alat untuk menyatukan semua etnis, suku, dan budaya di Indonesia.
Bahasa Indonesia juga menjadi identitas nasional Indonesia karena digunakan dalam banyak kegiatan formal seperti pertemuan resmi, pidato, seminar, dan lain-lain. Bahasa Indonesia juga digunakan dalam pengajaran di sekolah, universitas, dan kursus-kursus lainnya. Bahasa Indonesia juga telah menjadi bahasa resmi untuk semua dokumen pemerintah.
Selain itu, bahasa Indonesia juga menjadi identitas nasional Indonesia karena digunakan dalam media massa. Media massa seperti radio, televisi, dan surat kabar menggunakan bahasa Indonesia dalam berita dan acara mereka. Bahkan, bahasa Indonesia juga digunakan dalam film-film lokal Indonesia.
Bahasa Indonesia juga menjadi identitas nasional Indonesia karena digunakan di seluruh dunia. Di luar Indonesia, bahasa Indonesia juga digunakan sebagai bahasa internasional. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang populer di Asia, Amerika, dan Eropa. Sekolah dan universitas di luar negeri juga telah menawarkan kursus bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia juga telah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Banyak lagu dan tarian khas Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia dalam lirik dan gerakannya. Bahasa Indonesia juga telah menjadi bahasa yang digunakan dalam pembuatan produk kreatif seperti buku, komik, novel, dan lain-lain.
Bahasa Indonesia telah menjadi identitas nasional Indonesia selama bertahun-tahun. Dengan bahasa Indonesia, semua orang dapat saling berkomunikasi dan menyatukan semua etnis, suku, dan budaya di Indonesia. Bahasa Indonesia juga digunakan dalam banyak kegiatan sehari-hari dan telah menjadi bahasa internasional. Bahasa Indonesia telah menjadi bagian dari budaya Indonesia dan menjadi bagian penting dari identitas nasional Indonesia.
Sebagai warga negara Indonesia, kita harus dapat melestarikan dan terus menggunakan Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional Indonesia. Kita dapat memulainya dengan hal-hal sederhana seperti membiasakan berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mari kita lestarikan Bahasa Indonesia, jangan sampai kita kehilangan identitas nasional sebagai Bangsa Indonesia.
Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan heraldik, perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh panitia teknis yang dinamakan Panitia Lencana Negara dan diketuai oleh Muhammad Yamin dari Pontianak. Kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950.
Lambang Garuda Pancasila pertama kali diatur penggunaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1958,[2] dan diubah dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 untuk melaksanakan Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945.[3]
Garuda, kendaraan (wahana) Wishnu tampil di berbagai candi kuno di Indonesia, seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran, Belahan, Sukuh dan Cetho dalam bentuk relief atau arca. Di Prambanan terdapat sebuah candi di muka candi Wishnu yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi tidak ditemukan arca Garuda di dalamnya. Di candi Siwa Prambanan terdapat relief episode Ramayana yang menggambarkan keponakan Garuda yang juga bangsa dewa burung, Jatayu, mencoba menyelamatkan Sinta dari cengkeraman Rahwana. Arca anumerta Airlangga yang digambarkan sebagai Wishnu tengah mengendarai Garuda dari Candi Belahan mungkin adalah arca Garuda Jawa Kuno paling terkenal, kini arca ini disimpan di Museum Trowulan.
Garuda muncul dalam berbagai kisah, terutama di Jawa dan Bali. Dalam banyak kisah Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu, Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta. Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai "Tuan segala makhluk yang dapat terbang" dan "Raja agung para burung". Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kepala, paruh, sayap, dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia. Biasanya digambarkan dalam ukiran yang halus dan rumit dengan warna cerah keemasan, digambarkan dalam posisi sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam adegan pertempuran melawan Naga. Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuno telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai perwujudan ideologi Pancasila. Garuda juga dipilih sebagai nama maskapai penerbangan nasional Indonesia Garuda Indonesia. Selain Indonesia, Thailand juga menggunakan Garuda sebagai lambang negara.
Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945–1949, disusul pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku "Bung Hatta Menjawab" untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.[4]
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.[5] Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat.[4] Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.
Lambang Negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang Negara Indonesia berbentuk burung garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang di gantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu" ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.
Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno, dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat Tanggal 11 Februari 1950. Lambang negara Garuda Pancasila diatur penggunaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1958.
"Garuda Pancasila" juga merupakan nama dari sebuah lagu nasional Indonesia yang diciptakan oleh Prohar Sudharnoto. Judul aslinya adalah "Mars Pancasila".
Monograf Terbitan Berkala Sumber Elektronik Skripsi Tesis Bahan Grafis Rekaman Video Musik Bahan Campuran Bahan Kartografis Rekaman Suara Bentuk Mikro Film Manuskrip Bahan Ephemeral Serial Braille Semua Bahan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Merpati, biasanya berwarna putih, dipakai sebagai simbol cinta, perdamaian atau pembawa pesan. Merpati muncul dalam perlambangan Yudaisme, Kristen dan Pagan, dan kelompok militer dan pasifis.
Pemakaian merpati dan ranting zaitun sebagai lambang damai bermula dari zaman gereja perdana, yang menggambarkan peristiwa pembaptisan disertai oleh seekor merpati membawa ranting zaitun di paruhnya.[1][2]
Makna dan Kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara
Makna dan Kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara
Kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara dari Berbagai Tinjauan
KBBI mendefinisikan Pancasila sebagai dasar negara serta falsafah bangsa dan negara Republik Indonesia yang terdiri atas lima sila, yaitu (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terkait kedudukan, diterangkan M. Syamsudin dkk. dalam Pendidikan Pancasila: Menempatkan Pancasila dalam Konteks Keislaman dan Keindonesiaan, kedudukan atau fungsi Pancasila sebagai dasar negara dapat ditinjau dari berbagai aspek, yakni aspek historis, kultural, yuridis, dan filosofis.
Secara historis, Pancasila dirumuskan dengan tujuan untuk dipakai sebagai dasar negara Indonesia Merdeka. Dalam prosesnya, segala perumusan Pancasila sebagai dasar negara ini digali dan didasarkan dari nilai-nilai pandangan hidup masyarakat Indonesia dan dituangkan menjadi kesatuan sebagai pandangan hidup bangsa.
Secara kultural, Pancasila sebagai dasar negara adalah sebuah hasil budaya bangsa. Oleh karenanya, Pancasila haruslah diwariskan kepada generasi muda melalui pendidikan. Jika tidak diwariskan, negara dan bangsa akan kehilangan kultur yang penting. Penting untuk diingat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki kepedulian kepada pewarisan budaya luhur bangsanya.
Secara yuridis, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945. Sehubungan dengan itu, Pancasila memiliki kekuatan yang mengikat. Seluruh tatanan hidup bernegara yang bertentangan dengan Pancasila dinyatakan tidak berlaku dan harus dicabut.
Apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai dasar negara? Kemudian, bagaimana kedudukannya dalam hukum? Berikut ulasannya.
Secara filosofis, nilai-nilai Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Tatanan nilai ini tidak lain merupakan ajaran tentang berbagai bidang kehidupan yang dipengaruhi oleh potensi, kondisi bangsa, alam, dan cita-cita masyarakat. Lebih lanjut, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila diakui sebagai filsafat hidup yang berkembang dalam sosial budaya Indonesia.
Secara etimologi, Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta dan merupakan gabungan dari dua kata, yakni panca ‘lima’ dan sila ‘dasar”. Istilah Pancasila diprakarsai oleh Soekarno Sejak Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 untuk memberi nama atas lima prinsip dasar negara.
Konsep Pancasila Moh Yamin
Sebelum dirumuskan dan diberi sebutan, konsep Pancasila sudah dirancang sejak hari pertama sidang BPUPKI yang pertama. Pada 29 Mei 1945, Mohammad Yamin mengemukakan lima sila yang terdiri atas peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri Ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Konsep Pancasila Soepomo
Pada hari ketiga sidang pertama BPUPKI, tepatnya pada 31 Mei 1945, Soepomo juga mengemukakan lima dasar negara, yakni persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, dan keadilan rakyat.
Soekarno: Pancasila, Trisila, dan Ekasila
Keesokan harinya, pada hari keempat, Soekarno mengemukakan usulannya akan lima dasar negara, yakni kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kelima prinsip ini diberi nama Pancasila.
Dikemukakan Soekarno, apabila Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat disetujui semuanya, sila tersebut dapat dipersingkat menjadi Trisila (sosio nasionalisme, sosio demokrasi, dan Ketuhanan). Kemudian, jika Trisila juga tidak disetujui, dapat dipersingkat lagi menjadi Ekasila, yakni gotong-royong.
Setelah semua usulan disampaikan, dibentuklah panitia kecil yang beranggotakan delapan orang. Anggota tersebut meliputi Soekarno, Moh Hatta, Sutarjo, A. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandar, Mohammad Yamin, dan A. A. Maramis.
Tugas dari delapan panitia ini adalah untuk menampung dan mengidentifikasi usulan anggota BPUPKI. Berdasarkan usulan yang diterima, ternyata ada perbedaan usulan yang cukup besar. Golongan Islam menghendaki agar negara diselenggarakan berdasarkan syariat Islam, sedangkan golongan nasionalis menghendaki negara tidak diselenggarakan berdasarkan hukum agama tertentu.
Untuk mengatasi perbedaan tersebut, dibentuklah panitia kecil baru yang beranggotakan sembilan orang dan dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan. Kesembilan anggota panitia ini berasal dari golongan Islam dan nasionalis, yakni Soekarno, Moh Hatta, Mohammad Yamin, A. A. Maramis, Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Wachid Hasyim, dan Agus Salim.
Dalam sidang Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945, tercapai kesepakatan dasar yang populer dengan nama “Piagam Jakarta” dan kemudian tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni sebagai berikut:
Dalam sidang BPUPKI Kedua (10 Juli 1945–16 Juli 1945) tercapai kesepakatan bahwa kedudukan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tertuang dalam Piagam Jakarta. Selain perihal Pancasila sebagai negara, sidang BPUPKI yang kedua juga menyepakati pemerintahan negara republik, wilayah yang disepakati, dan pembentukan tiga panitia kecil (perancang UUD, ekonomi dan keuangan, dan pembela tanah air).
Penetapan Pancasila dalam Sidang PPKI
Dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, ditetapkan bahwa sila pertama Pancasila diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Frasa “syariat Islam” dan sejumlah ketentuan untuk menjalankannya dihapuskan.
Perubahan ini dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara yang beraneka ragam suku dan agama. Perubahan sila pertama dianggap mencerminkan toleransi yang tinggi di Indonesia juga persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain perubahan sila pertama, sidang PPKI ini juga menghasilkan tiga keputusan penting, yakni mengesahkan UUD negara, memilih presiden dan wakil presiden, dan memutuskan bahwa untuk sementara waktu presiden akan dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) hingga dibentuknya MPR/DPR.
Makna Masing-Masing Sila dalam Pancasila
Kelima sila dalam hubungan Pancasila sebagai dasar negara tentu memiliki makna tersendiri. Disarikan dari Pancasila susunan Tim Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia, berikut makna dari tiap-tiap sila dalam Pancasila.
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai Ketuhanan menjadi sumber pokok nilai kehidupan bangsa. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menerangkan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Kemudian, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menerangkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab
Sila kedua menyimpulkan cita-cita kemanusiaanbyang adil dan beradab memenuhi seluruh hakikat manusia. Sebagaimana rumusan sila kedua, setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Setiap warga negara dijamin hak dan kebebasannya yang menyangkut hubungan dengan Tuhan, orang seorangan, negara, masyarakat, dan menyangkut pula kemerdekaan untuk berpendapat dan pekerjaan serta penghidupan yang layak.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam corak dan beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Persatuan Indonesia merupakan persatuan bangsa yang didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat.
SIla Keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Sila keempat menandakan Indonesia menganut dua macam demokrasi, yakni demokrasi langsung dan tidak langsung (demokrasi perwakilan). Hikmat kebijaksanaan berarti penggunaan pikiran atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat, dan dilaksanakan dengan sabar, jujur, dan bertanggung jawab serta didorong oleh itikad baik.
Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak rakyat hingga tercapai kesepakatan datau mufakat. Perwakilan sendiri adalah suatu sistem atau prosedur yang mengusahakan turut sertanya rakyat untuk ambil bagian dalam kehidupan bernegara, yakni melalui badan-badan perwakilan. Jika disimpulkan, sila keempat bermakna pemerintahan Republik Indonesia didasarkan atas kedaulatan rakyat.
Sila Kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sila kelima berarti keadilan untuk semua rakyat, setiap warga negara mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Keadilan sosial mencakup pula pengertian adil dan makmur.
Keadilan sosial juga mengandung arti tercapainya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat. Seia kelima ini adalah tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yakni menghasilkan tata masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila sebagai dasar negara.
Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Kedudukan ini tertuang dalam Pasal 36 UUD 1945. Kedudukan bahasa Indonesia resmi ditetapkan dalam konstitusi pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional, lambang identitas nasional, sarana pemersatu suku bangsa dan alat komunikasi antarbudaya daerah.
Menuju Bahasa Internasional
E. Aminuddi Aziz, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menegaskan melalui diplomasi lunak, Indonesia ingin meningkatkan jati diri, meningkatkan martabat bangsa Indonesia, dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai kebanggaan bagi penutur asing di luar negeri. Pada 2045, imbuhnya, tahun di mana target pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.